LANGKAT, KOMPAS.com - Setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 50 menit, saya sampai di zona inti yang berubah menjadi zona degradasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Resort Sei Betung atau TN 62, Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kecamatan ini berada di antara Kota Pangkalan Brandan dan Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang.
Ada pondok restorasi dan pengawasan hutan yang dibangun Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Center (YOSL-OIC). Di sinilah saya menyantap hidangan makan malam dan menginap semalam. Pondok ini menjadi rumah singgah dan pusat informasi seputar kegiatan restorasi di kawasan Sei Betung.
Wisatawan domestik dan internasional terlihat memenuhi daftar panjang buku tamu. Hampir setiap bulan terjadi kunjungan rutin mulai tingkat pelajar, mahasiswa, dan aktivis lingkungan luar dan dalam negeri. Dari foto dan informasi diperoleh bahwa pengunjung yang datang tertarik ingin tahu dan terlibat langsung dalam penyelamatan TNGL.
Wisata edukasi yang menarik dan menantang. Di sini pengunjung diajarkan bagaimana menyemai bibit, membuat kompos, menanamnya di areal restorasi. Malam sebelum tidur, bersama kopi hangat kami disuguhi film tentang restorasi, bagaimana TNGL dan apa yang ada di kawasan yang pada 2004 lalu menyandang gelar situs warisan dunia, sejajar dengan Borobudur dan Pulau Komodo.
Namun, saat ini UNESCO menyatakan TNGL kondisinya kritis. Direktur YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo mengatakan, pihaknya bersama Tropical Forest Conservastion Action (TFCA) Sumatera dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) melakukan upaya-upaya penyelamatan TNGL dari tangan-tangan perambah dengan cara melibatkan peran serta masyarakat setempat. Caranya dengan menanami kembali areal yang didominasi ilalang dan menumbangi pohon sawit yang masuk ke kawasan TNGL sejak 2007.
Untuk periode Juni 2012 hingga Juni 2013, 165.000 bibit pohon berbagai jenis akan ditanam di lahan konservasi seluas 140 hektar ini. "Sudah 125.000 bibit yang ditanam dengan jenis fast growing dan best pioneer seperti waru dan matao. Waru atau sempuyung dan makaranga dalam satu tahun tumbuhnya bisa mencapai dua hingga tiga meter dan daunnya cepat terdekomposisi hanya dalam tiga hari," kata Panut.
"Lokasi kita ini kan dulunya bekas lahan sawit, jadi dalam dua bulan pohon ini sampah daunnya bisa menjadi kompos. Kalau matao, pohonnya resisten terhadap api dan sangat disukai orang utan untuk membuat sarang, buahnya juga di senangi landak," sambung Panut.
Kegiatan ini juga disambut gembira masyarakat setempat karena selain mereka sudah sadar bahwa dengan menanami kembali hutan maka akan mengembalikan sumber air mereka yang hilang akibat kehadiran sawit, juga karena terjadi peningkatan ekonomi masyarakat.
"Sumber benih ada dua, pertama dari hutan langsung berupa anakan atau biji dan dari kampung yang dijual masyarakat seharga Rp 300 sampai Rp 500 sudah di polyback. Ini menjadi mata pencarian tambahan penduduk setempat sehingga meningkatkan ekonomi lokal khususnya kaum ibu," kata Panut.
Ari, Koordinator Restorasi TFCA dan Manager Restorasi YOSL-OIC menambahkan, saat ini, terbentuk lima kelompok tani dan penyuluhan dengan total anggota 50 orang. Kelompok Tani Pelindung Leuser (KETAPEL) inilah yang melakukan penanaman kembali areal restorasi.
Selain pondok kerja dan pusat pembibitan, rencananya akan dibangun rumah kompos untuk mendukung program pemulihan habitat alami kawasan TNGL yang terdegradasi. Kompos yang dihasilkan akan digunakan untuk memperbaiki tanah-tanah yang miskin unsur hara pada saat penanaman kembali kawasan yang telah rusak.
Sei Betung adalah hutan primer dengan keanekaragaman hayatinya seperti gajah, orang utan dan rangkong. Terindikasi 35 famili dari 146 jenis burung. Kawasan ini berbatasan langsung dengan PT Rapala dan Putri Hijau yang menanam sawit dan karet. Kawasan yang terdegradasi didominasi alang-alang, senggani, marak dan kelapa sawit.
Data kerusakan hutan di BPTN III Stabat, luas Sei Betung adalah 9.734 hektare dengan luas kerusakan 1500 an hektare. Hasil survei sosial yang dilakukan, salah satu penyebab terjadinya perambahan karena 89 persen masyarakat tidak tahu batas-batas wilayah.
"Kita lalu melakukan diskusi reguler, penyuluhan, sosialisasi dan penyadartahuan ke masyarakat. Akhirnya, pelibatan masyarakat lokal mendukung pelaksanaan restorasi. Sawit ditumbangkan, untungnya bisa menjadi kompos dan pakan gajah. Kalau diinjeksi akan mati setelah tiga bulan dan hanya menjadi kompos. Butuh tiga menit untuk menumbangkan satu batang sawit yang sudah kita ketahui condongnya dan upahnya Rp 15.000 per pohon," kata Ari.
Sebelum kembali pulang, saya diberi beberapa batang bibit pohon untuk ditanam di arel yang sudah disediakan. Edukasi restorasi dengan adopsi pohon untuk mendukung keberlangsungan restorasi. "Restorasi adalah long project, minimal 10 tahun dan kita sudah menjalani selama 5 tahun. Ini menjadi contoh restorasi yang berhasil dengan skala kecil tapi impact-nya adalah masyarakat Sei Betung yang merasakan keuntungannya. OIC satu-satunya lembaga yang bisa melakukan restorasi di dalam kawasan TNGL berdasarkan MoU. Kita harus bisa berbesar hati menumbangkan sawit di habitat satwa dan sumber mata air, kita tidak anti sawit," papar Panut.
Menurutnya, restorasi bukan hanya hutan tapi juga masyarakatnya dan sekarang masyarakat paham gunanya restorasi. "Kita akan tetap melanjutkan dan akan ekspansi ke tempat lain seperti di Karo dan Ketambe. Kita senang program ini diadopsi lembaga lain tapi harusnya bersinergi bukan cuma buat senangnya saja. Kita adalah lembaga yang diberikan konsesi dalam arti tidak sebenarnya sesuai MoU dan ini membantu kerja-kerja BBTNGL," tegas Panut.
"Di sini tempat yang bagus buat orangutan untuk translokasi. Sudah 15 ekor orangutan yang kita translokasi dari masyarakat. Kita sudah memberi rumah yang baik untuk orangutan begitu juga dengan habitat gajah. Walau belum sampai ke sana, kita tetap memberikan edukasi ke masyarakat," katanya lagi.
Ari menambahkan, saat ini sedang 'musim gajah'. Siklus jelajahnya mulai Februari dan Juni nanti di kawasan Sei Betung. Namun menurutnya, bukan gajah yang harus menghindari konflik tapi manusialah yang harus paham bahwa domisilinya adalah habibat gajah. "Di sini habitat gajah dan orangutan, masyarakat harus tahu itu," ucap Ari.
Anda tertarik untuk mencoba wisata edukasi ini? Pasti banyak pengalaman menarik dan petualangan yang mengasyikkan yang akan Anda dapatkan. Pondok restorasi Sei Betung siap menanti Anda kapan saja.
Anda sedang membaca artikel tentang
Wisata Edukasi di TNGL
Dengan url
http://cholesterolanddiabetes.blogspot.com/2013/02/wisata-edukasi-di-tngl.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Wisata Edukasi di TNGL
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar